Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

LANJUTAN BAB IV: MENJAWAB MUHAMMAD LUDFI ROCHMAN TENTANG TERPUTUSNYA NASAB HABIB

LANJUTAN BAB IV: MENJAWAB MUHAMMAD LUDFI ROCHMAN TENTANG TERPUTUSNYA NASAB HABIB

MENJAWAB MUHAMMAD LUDFI ROCHMAN TENTANG TERPUTUSNYA NASAB HABIB



Tesis penulis tentang terputusnya nasab para habib Ba Alawi Yaman kepada Rasulullah mendapat antitesis dari Muhammad Ludfi Rocman (MLR) kiai asal Purwerejo Jawa tengah. Antithesis beliau termuat dalam dua tulisan. Tulisan pertama dengan judul

―MELURUSKAN        IMAMUDDIN          UTSMAN           YANG

MENGINGKARI NASAB HABAIB INDONESIA‖ dimuat dalam media online Faktakini.info pada Jumat, 7 April 2023; tulisan kedua dengan judul ―Para Ulama Sejak 5-6 Abad Lalu Yang Mengakui Nasab Sayid Ubaidillah Bin Ahmad‖ dimuat pada Sabtu, 8 April di media yang sama.

Di antara point-point yang akan penulis tanggapi dari tulisan beliau yang termuat dalam dua judul tulisan tersebut adalah:

Pertama, MLR menulis “Ada seorang yang katanya kyai membuat tulisan yang pada intinya beliau mengingkari nasab habaib terutama di Indonesia yang sudah disahkan oleh lembaga nasab yang berkompeten dalam hal ini adalah Rabithoh Alawiyah.” Penulis menjawab: penulis tidak mengingkari nasab habib sampai kepada Alawi bin Ubaidillah, yang penulis yakini secara ilmiyah adalah mereka bukan sebagai keturunan Rasulullah karena Ubaidillah yang mereka sebut sebagai anak Ahmad bin Isa, tidak tekonfirmasi dalam kitab-kitab nasab sezaman dengan mereka. 

Kedua, MLR menulis “Beliau mengambil kesimpulan ini hanya dari satu kitab nasab saja yang ditulis oleh Syekh Fahruddin Ar Rozi yaitu Kitab Sajaroh Al Mubarokah.” Penulis menjawab: Referensi penulis dalam menyimpulkan terputusnya nasab para habib Ba Alawi tidak hanya berdasar satu kitab saja melainkan 9 kitab nasab yang akan penulis uraikan rinci di bawah.

Ketiga, MLR menulis “Untuk sekedar diketahui bahwa Sayid Ahmad Bin Isa mempunyai gelar Al Muhajir karena beliau hijrah (ke

Hadramaut)”. Penulis menjawab: tidak ada kitab-kitab nasab mu‘tabar yang menyebutkan bahwa Sayid Ahmad bin Isa pindah ke Hadramaut, maka tidak ada gelar Al-Muhajir bagi Ahmad bin Isa. Berita ia pindah dan ia bergelar Al-Muhajir berbarengan dengan munculnya nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa, yaitu mulai abad 9 Hijriah, sama dengan 535 tahun sejak wafatnya Ahmad bin Isa, sebelumnya tidak ada. Muncul untuk pertama kali dalam kitab AnNafhah al-Anbariyah karya Muhammad Kadzim bin Abil Futuh alYamani al-Musawi (w. 880).

 Keempat, MLR menulis “sebagai seorang pendatang bisa saja beliau (Ahmad bin Isa) menikah lagi dengan wanita yang tentu saja tidak Cuma satu”. Penulis menjawab: tidak ada berita ia pindah ke Hadramaut, makan tidak ada berita ia menikah lagi dan mempunyai anak bernama Ubaidillah.

 

Kelima, MLR menulis: “kitab Ar Razi juga tidak pernah mengingkari bahwa Sayid Ahmad Bin Isa punya putra bernama Sayid Ubaidillah. Ar Razi hanya menyebutkan 3 putra dari Sayid Ahmad dan tidak ada pengingkaran dari Ar Razi kalau Sayid Ahmad punya anak yang lain.” Penulis menjawab: kalimat Ar-razi yang menerangkan bahwa anak Ahmad bin Isa tiga menggunakan ―jumlah ismiyah‖ yang menunjukan ta‘kid (kuat), ―Anak ahmad bin Isa itu tiga: Muhammad, Ali dan Husain‖ kalimat itu jelas dan tegas, bukan dua dan bukan empat. Berbeda jika ada kalimat yang menunjukan sebagian seperti: ―diantara anak Ahmad bin Isa itu tiga: Muhammad, Ali dan Husain‖ kalimat semacam ini memungkinkan masuknya nama lain.

Keenam, MLR menyatakan ada kitab yang menerangkan bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah, yaitu kitab Syarhul Ainiyyah karangan Habib Ahmad bin Zen al-Habsyi. Penulis menjawab: kitab Syarhul Ainiyyah adalah kitab yang dikarang abad 12 hijriah, sedangkan Ubaidillah wafat pada tahun 383 h. bagaimana bisa kitab yang ada di abad 12 H bisa menjadi saksi keberadaan orang yang hidup di abad 4 h. dalam ilmu hadis, begitupula nasab, dibutuhkan yang namanya ittisolurriwayat (ketersambungan riwayat), tidak boleh suatu zaman berbeda dengan zaman sebelumnya dalam suatu riwayat. Pertanyaannya, dari mana kitab syarhul ainiyah mengambil referensi bahwa Ahmad bin Isa punya anak bernama Ubaidillah? Tidak disebutkan sumbernya apa. Karena memang tidak ada kitab yang sezaman dengan ubaidillah menyebutkan ia keturunan Nabi Muhammad s.a.w. atau ia anak dari Ahmad bin Isa. 

Ketujuh, MLR menulis ―Para Ulama Sejak 5-6 Abad Lalu Yang Mengakui Nasab Sayid Ubaidillah Bin Ahmad‖. Penulis menjawab: pernyataan ini tidak dibarengi dalil sedikitpun, karena kitab-kitab yang disebutkan kemudian adalah kitab kitab abad 10 h ke atas.

Kedelapan, Beliau menulis bahwa Imam Sakhowi dalam kitab

Ad-dlauillami‘ menyebut nama ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa. Penulis menjawab: Imam Sakhowi hidup abad ke 10 H. ia wafat tahun 902 H. dalam kaidahnya: kitab abad sepuluh harus sama dalam periwayatan sejarah dan nasab dengan kitab sebelumnya, kecuali pemikiran, ia boleh berbeda dengan abad sebelumnya, tapi riwayat tentang sejarah dan nasab, harus ada referensi kitab sebelumnya tidak boleh berbeda, jika berbeda tanpa sanad itu tertolak secara ilmiyah. Sedangkan kitab abad 5-9 H menyatakan Ahmad bin Isa tidak punya anak bernama Ubaidillah.

Kesembilan, Beliau menulis bahwa Ibnu Hajar al-haitami dalam kitab mu‘jam, Imam Abu Salim Al Maghrib dalam kitab Bahjatul Mafakhir fii Ma'rifatin Nasab Ali Alfakhir, Imam Ibnu 'Imad Asy Syafi'I dalam Syadzaratudzahab, Imam Abdurrahman Bin Muhammad Al Khotib dalam kitab Al Jauharus Syafaf fii Fadhoili wa Manakibi Assadah Al Asyrof, menurut beliau semuanya ulama ini menyebutkan bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah. Penulis menjawab: Ibnu Hajar wafat tahun 974 H., Imam Abu salim al Magribi tidak punya kitab yang bernama Bahjatul mafakhir, kitabnya bernama Ar-rihlah al-Iyasyiah, ia wafat tahun 1090 H., Ibnu imad yang beliau sebut bermadzhab syafi‘I itu salah, seharusnya ia bermadzhab hambali. Ibnu Imad yang bermadzhab syafi‘I tidak mempunyai kitab syadzaratudzahab. Ibnu Imad al-hambali ulama abad 11 H. ia wafat 1089 H, Imam Al-khotib ulama abad 9 H. ia wafat tahun 855 H. namun MLR tidak menyebutkan ibaroh kitab ini seperti apa, jadi belum bisa dipercaya. dalam kaidahnya: kitab abad 9-10 H. harus sama dalam periwayatan sejarah dan nasab dengan kitab sebelumnya, kecuali pemikiran, ia boleh berbeda dengan abad sebelumnya, tapi riwayat tentang sejarah dan nasab, harus ada referensi kitab sebelumnya tidak boleh berbeda, jika berbeda tanpa sanad itu tertolak secara ilmiyah. Sedangkan kitab abad 5-9 H menyatakan Ahmad bin Isa tidak punya anak bernama Ubaidillah.

Kesimpulan: bahwa tulisan MLR itu belum bisa menjawab tesis bahwa Nasab para Habib ba Alawi itu terputus. Dan menurut penulis mereka tidak sah mengaku keturunan dari nabi Muhammad s.a.w. 

MUHAMMAD LUDFI RAHMAN MEMPERTAHANKAN NASAB HABIB DENGAN KITAB PALSU

Setelah hujahnya batal secara ilmiyah, Muhammad Ludfi Rahman (MLR) tidak patah harapan untuk membela nasab habib. Ia masih berusaha menunjukan sisa-sisa hujah ketersambungan yang ia dapatkan yang belum disampaikan. 

Kali ini ia memperlihatkan satu kitab nasab yang ditulis berjudul “Abna‟ul imam fi Misro was Syam”, untuk selanjutnya ditulis “Abna‟ul Imam”. Kitab ini dicetak tahun 2004 M oleh maktabah At-taubah. Menurut MLR, Ubaidillah sah sebagai anak Ahmad bin Isa karena disebutkan dalam kitab tersebut. 

Namun saying, kitab itu adalah kitab palsu, tidak layak disebutkan sebagai salah satu referensi dalam ranah ilmiyah. Oleh karena itu walaupun penulis telah lama mengenal kitab ini, penulis tidak pernah menyinggungnya, karena kitab ini tidak layak di letakan di atas meja ilmiyah dalam diskursus para ulama.

Kenapa demikian?

Karena kitab ini judulnya palsu. Pengarangnya palsu. Tahunnya palsu. Isinya palsu.

Darimana mengetahuinya? Kitab ini judulnya palsu karena kitab ini tertulis dengan judul “Abna‟ul imam”, namun isinya bukan semata kitab tesrsebut, karena telah ditambahi kalimat para penyalin dan pentahqiq. Yusuf jamalulail, sang pentahqiq, memberi judul kitab ini adalah “Al-Aqdul Masi Fi Ansabi Ali Baitinnabawi (2)”. 

Pengarangnya paslu, karena seakan-akan seluruhnya karangan Ibnu Toba-toba, padahal, di dalamnya ditambahkan oleh 4 orang yaitu: Ibnu Shodaqoh al-Halabi (w. 1180), Abul Aon As-sifarini (1188 h.), Muhammad bin Nashar al-Maqdisi (w. 1350 H) dan Yusuf jamalullail yang kemudian mencetaknya dan memberi judul baru dengan nama “Al-Aqdul Masi fi Ansabi Ali Baitinnabawi (2)‖. Mereka berempat menambahkan didalamnya sesuai nama-nama yang ada pada zamannya. 

Tahunnya palsu, karena kitab ini ditulis ulama yang wafat tahun 199 H. sebagaimana disebut dalam kitab ini pada halaman 17 namun kemudian dijudul ditulis wafat 478 H. Nampaknya ada kesengajaan pengkaburan tahun pengarang dengan memanfaatkan nama Ibnu Toba-toba yang bukan hanya satu.

Isinya palsu karena isinya tidak sesuai judulnya. Judulnya kitab “ Abnaul Imam” tapi isinya penuh tambahan dari penyalin dan muhaqiq.

Termasuk yang disebut RML, bahwa dalam kitab tersebut ditulis Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Abdullah, itu adalah palsu bukan tulisan Ibnu Tobatoba pengarang kitab Abnaul Imam, tetapi tulisan penyalin atau pentahqiq yaitu Yusuf Jamalullail, seorang habib (turunan Ba Aalawi) yang hidup tahun 1938 M. 

Jadi kitab yang disebut RML menjadi syahid bagi nasab Ba Alawi itu tertolak secara ilmiyah. Sampai saat ini, MRL harus lebih gigih lagi untuk mencari kitab nasab primer yang menyebutkan bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah. Semoga berhasil.

 

ULASAN DIALOG ILMIYAH HABIB HAMID ALKADRI TENTANG NASAB HABIB

Muwasholah TV memposting dialog ilmiyah antara Gus Mabda Dzikara, Lc. MAg. dengan Habib Hamid Alkadri tentang buku penulis. ada beberapa hal yang ingin penulis ulas dalam kesempatan ini.

Habib Hamid alqadri menyatkan bahwa kitab-kitab referensi penulis itu walaupun ditulis abad ke lima tetapi dicetak dimasa kini dan sudah ditahqiq oleh ulama sekarang. 

Penulis menjawab, tentu kitab itu dicetak masa kini karena pada masa hampir seribu tahun yang lalu itu belum ada mesin cetak, tetapi apa yang dicetak itu berdasarkan manuskrip yang berhasil ditemukan oleh seorang muhaqiq yang dengan kepakarannya ia kemudian mencetaknya. 

Manuskrip yang dicetak bisa berupa manuskrip asli yang ditulis oleh penulisnya, atau berupa manuskrip yang merupakan hasil salinan dari manuskrip aslinya. Biasanya seorang penyalin akan mengatakan diakhir salinannya bahwa kitab ini disalin berdasarkan naskah aslinya dan menuliskan namanya sebagai penyalin dan angka tahun penyalinannya. 

Di masa lalu, sebelum ada mesin cetak, seorang santri yang akan mengaji sebuah kitab ia harus menyalin terlebih dahulu kitab yang akan dikajinya. lalu ketika ia akan mengajarkan kembali kepada santrinya iapun akan menggandakan salinan itu dengan cara ditulis tangan sesuai dengan jumlah santrinya itu. demikian seterusnya sampai adanya mesin cetak.

 Sebelum dicetak atas inisiatif pihak percetakan, kitab ini dihadapkan kepada muhaqiq (pentahqiq) untuk diteliti dan difinalisasi, baik dari sisi keabsahan penisbatannya kepada pengarang, atau dari sisi kalimatnya.

Karena kadang sebuah manuskrip ditulis dengan bentuk hurup yang sukar dibaca yang memerlukan keahliam khusus. atau karena usianya kitab ini telah mengalami cacat sehingga ada beberapa hurup yang hilang.

Dengan kepakarannya, seorang muhaqiq akan dapat mengetahui bahwa hurup yang hilang itu adalah hurup tertentu. jika menurut kepakarannya sulit untuk di yakini hurup apa yang hilang karena adanya makna yang mirip jika dirubah dengan beberapa hurup, apalagi yang hilang adalah satu kalimat atau beberapa kalimat, maka ia akan mengkonfirmasi dengan naskah lain jika ditemukan, jika tidak ada naskah lain, maka ia akan membiarkan sebagaimana adanya dan akan diberi tanda titik tiga dan ia akan memberi catatan kaki tentang itu, bahwa ada hurup atau kalimat yang hilang.

jadi, walaupun kitab-kitab itu dicetak masa kini, tetapi dengan metodologi tahqiq yang standar ilmiyah dapat dijamin oleh seorang muhaqiq yang jujur tentang keaslian sebuh kitab.

Contoh kitab syajarah mubarokah, dikarang oleh imam fakhrurozi, ulama abad ke enam dan ketujuh, karena ia wafat tahun 606 Hijriah. Kitab itu dicetak tahun 1419 H, berdasarkan manuskrip yang berjumlah seribu lembar yang diterdapat di perpustakaan

Universitas Sultan Ahmad 3 di Istanbul dengan nomor 2677 Kemudian kitab ini ditahqiq oleh Sayyid Mahdi Ar-Roja'i. 

Untuk mengetahui kebenaran apakah betul pentahqiqan beliau, sangat mudah membuktikannya, kita tinggal datang ke perpustakaan Universitas Sultan Ahmad Tiga di Istanbul lalu memverivikasi apakah yang dicetak itu sesuai dengan aslinya atau tidak?

Ini juga untuk menjawab sebagian yang meragukan apakah betul kitab As-Syajarah Al Mubarokah itu ditulis oleh Imam Fakhrurozi.

Habib Hamid Alkadri pula menyatakan bahwa tidak ada ulama yang menyebutkan Imam Fakhrurozi menulis kitab As-Syajarah AlMubarokah. Tentu demikian, karena Pentahqiq pula dihalaman sebelas dalam kitab itu menyatakan demikian. Ia menyatakan begitu takjub ketika mengetahui Imam Fakhrurazi mempunyai karangan bernama Al-Syajarah Al Mubarokah ini. 

Dalam halaman duabelas pentahqiq menyatakan bahwa kitab ini diketahui atau ditemukan oleh Syekh Al Mar'asyi berada di Pepustakaan Universitas Sultan Ahmad 3 di Istanbul dengan nomor 2677. 

Kemudian Syekh Al Mar'asyi meminta anaknya, Mahmud Al Mar'asyi untuk memotret naskah itu lalu meminta pentahqiq untuk mentahqiqnya.

Menurut pentahqiq dalam halaman duabelas nama kitab AlSyajarah Al Mubarokah dengan pengarang Imam Fakhrurozi terdapat di akhir manuskrip itu. Jadi kronologis sampai dicetaknya kitab AlSyajarah Al Mubarokah ini jelas dan dapat diverifikasi kebenaran dan kejujurannya dengan mendatangi naskah aslinya di Istanbul dengan alamat yang jelas yaitu di Perpustakaan Universitas Sultan Ahmad tiga dengan nomor arsip 2677.

Dan perlu diketahui, manuskrip kitab Asyjarah ini kini telah pula ditemukan di Arab Saudi di perpustakaan pribadi ahli nasab Saudi yang bernama Syekh Ibrahim Al Manshur Al Hasyimi Al Amir. Yang demikian itu dapat dilihat di twiter milik beliau yang masih aktif dan dapat ditelusuri.

Dari sini, kitab saksi mahkota, Al Syajarah Al Mubarokah ini, tidak dapat disebut palsu karena kronologis proses cetaknya lengkap. 

Habib Hamid Alkadri menjadikan kitab "Al Raudul Jaliy" sebagai salah satu hujjah keabsahan nasab Ba Alawi. Kitab itu adalah kitab karya Murtado Azzabidi, ulama yang wafat pada tahun1145 H, berarti kitab abad duabelas.Tentu dipertanyakan dari mana beliau mendapatkan sanad referensinya. Kitab ini hampir semasa dengan kitab Khulatsatul Atsar karya AlMuhibbi yang wafat tahun 1111 H. 

 Yang sama menyebut Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa. Keduanya sama sama kitab abad 12 tentu lebih muda dari kitab yang penulis sebut telah mencantumkan nama nama yang yang mashur dikalangan Ba Alawi, yaitu kitab "Tuhfatutholib Bima‟rifati man Yantasibu Ila Abdillah wa Abi Tholib", karya Sayid Muhammad bin al-Husain as-Samarqondi (w. 996). Ketika kitab abad 10 tertolak, apalagi kitab abad 12. 

Perlu diketahui bahwa Murtado Azzabidi menulis kitab "Al Raidul Jali" tersebut karena ia diminta oleh gurunya yaitu Habib Abdurrahman Mustofa Al Idrus, dan ketika Azzabidi menulis ini umurnya baru 20 tahun.

Habib Hamid Alkadri juga berhujjah dengan nama nama ulama besar yang menyebut nama Ubaidillah seperti As-Sakhowi wafat 902 H dan Ibnu Hajar Al Haitami wafat 974 H. keduanya ulama abad 10 H. dan keduanya bukan ulama nasab. Pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah dari mana ulama ulama ini mendapatkan keterangan tersebut bahwa ubaidillah anak Ahmad bin Isa, jika selama 500 tahun lebih tidak ada yang menyebutkan demikian?

Demikian ulasan penulis tentang dialog ilmiyah Habib hamid

Alkadri dan Gus Mabda Dzikara Lc. MAg. di channel youtube

Muwasholah TV. Ada hal yang ingin penulis ulas juga tentang AlSyuhroh wal Istifadoh dalam menentukan nasab namun mungkin dalam kesempatan lain.

(penulis: KH. Imaduddin Utsman Al Bantani)

 

MENANGGAPI PERNYATAAN: TIDAK DISEBUT BUKAN

BERARTI TIDAK ADA

Untuk mempertahankan nasab para habib, mereka menggunakan kaidah:  عدم الوجدان لا يلزم عدم الوجود

“Tidak menemukan bukan berarti tidak ada”.

Dengan kaidah ini, mereka menyatakan bahwa tidak ditemukannya kitab yang menunjukan bahwa Ubaidllah sebagai anak Ahmad bin Isa, bukan berarti kitab itu tidak ada, bisa saja ada hanya saja belum ditemukan. 

Penulis menjawab, kitab nasab abad kelima menyebut anak Ahmad bin Isa, tapi tidak menyebut nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad. Kitab abad enam menyebut Ahmad bin Isa mempunyai anak tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Begitu pula kitab abad tujuh dan delapan, tidak ada yang menyebut Ahmad mempunyai anak Ubadillah. Tidak disebutnya nama Ubadillah sebagai anak Ahmad dalam kitab-kitab selama 550 tahun, menunjukan bahwa Ubadillah ini memang bukan anak Ahmad. 

Ubaidillah ini hidup di abad 4 hijriah, ia wafat tahun 383, jika semua kitab pada abad itu dan abad selanjutnya sampai abad 8 tidak menyebut nama Ubaidillah, lalu darimana ulama abad 9 dapat mengetahui bahwa Ubaidillah ini ada, dan bahwa ia anak dari Ahmad?

Ada ungkapan al ilmu bi adamiddalil (mengetahui tidak adanya dalil) ada pula ungkapan adamul ilmi biddalil (tidak mengetahui adanya dalil). Posisi penulis dari dua ungkapan itu, tentang nasab Ba Alawi, adalah mengetahui tidak adanya dalil yang menunjukan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa. 550 tahun nama Ubaidillah tidak disebut sebagai anak Ahmad, lalu muncul ditulis Habib Ali alSakran tahun 895 H. bahwa Ubidillah adalah anak Ahmad bin Isa. ini sungguh keanehan.

 

TANGGAPAN TERHADAP UNGKAPAN: MENAPIKAN UBAIDILLAH SEBAGAI ANAK AHMAD MASUK SEBAGAI MENUDUH ZINA (QADZAF)

Ada ungkapan para habib, bahwa ketika penulis menyatakan Ubaidillah bukan anak Ahmad bin Isa, ungkapan itu masuk bab qodzaf, yaitu menuduh zina ibunya Ubaidillah. Penulis menjawab, bab qdzaf itu adalah apabila ada seorang perempuan yang bersuami mempunyai anak, lalu ada orang yang mengatakan bahwa anak itu bukan anak suaminya, itu bab qodzaf. Kalau kasus Ubaidillah itu beda, karena ibu Ubaidillah bukan isterinya Ahmad bin Isa. Ketika disebut Ubaidillah bukan anak Ahmad ya jelas sekali, karena ibunya ubaidillah itu bukan isteri dari Ahmad. Bagaimana disebut ia menghianati ahmad, wong Ahmad bukan suaminya. Ini babnya bukan bab qodzaf, tapi bab salah alamat nama bapak.

Ada yang lucu lagi. Jika penulis menyebut Ubaidillah bukan anak Ahmad, maka penulis harus menunjukan, siapa bapaknya Ubaidillah? Penulis menjawab, penulis berani menyatakan bahwa Ubaidillah bukan anak Ahmad, karena penulis mempunyai dalil akan hal itu, bahwa Ahmad tidak punya nama anak bernama Ubadillah. Mengenai siapa ayah Ubaidillah, itu bukan tanggung jawab penulis. Toh banyak orang yang silsilahnya mentok misalnya pada generasi ke 6 pada suatu nama yang tidak diketahui siapa nama ayahnya, karena tidak dicatat atau hal lainnya. 

TANGGAPAN BAHWA MENELITI NASAB HABIB SAMA DENGAN MEMBENCI DZURIYAT NABI MUHAMMAD SAW.

Sebagian pembela nasab Ba Alawi membuat framing di media sosial, bahwa penulis adalah pembenci dzuriyat Nabi Muhammad Saw. Framing ini tentu tidak akan mempengaruhi kalangan terpelajar pembuat framing-pun tahu itu. Yang menjadi sasaran mereka adalah para awam yang selama ini menjadi pengikut mereka agar tidak mempercayai penelitian ini.

Penulis menjawab, bahwa penelitian tentang nasab seseorang yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw. Bukanlah membenci dzuriyat nabi, justru ini sebagai usaha memurnikan silsilah dzuriyat nabi dari mereka yang mengaku tanpa bukti.

 

TANGGAPAN TENTANG BAHWA SYEKH NAWAWI AL-

BANTANI, SYEKH HASYIM ASY’ARI DLL TELAH MENGITSBAT

NASAB BA ALAWI

Para pembela nasab Ba alawi membuat framing, bahwa penulis yang mengakji nasab Ba Alawi, tidak mengikuti para ulama nusantara masa lalu yang telah mengitsbat nasab Ba Alawi. 

Sepanjang pengetahuan penulis, mereka para ulama nusantara, tidak ada yang mengitsbat nasab Ba Alawi sebagai sohih merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw., yang ada mereka saling berguru. Ilmu adalah suatu hal, dan nasab adalah hal lain. Penghormatan KH.

Hasyim Asy‘ari kepada habib yang datang kerumahnya atau sebaliknya, itu bukan karena nasab saja, jika hanya karena nasab, berarti KH. Hasyim Asy‘ari tidak berguru dan silaturahmi kecuali kepada para habib saja. Kenyataannya tidak demikian. 

Tidak berarti orang yang berguru kepada Ba Alawi, disebut mengitsbat nasab Ba Alawi. Tidak juga orang yang tidak percaya nasab Ba Alawi tidak dapat barokah ketika membaca ratib atau kitab karangan ulama Ba Alawi. Sekali lagi, Ilmu suatu hal, dan nasab adalah hal lain.

TANGGAPAN TERHADAP BUKU DR. JA’AR ASSEGAF, MA.

BERJUDUL KONEKTTIFITAS RIJAL AL HADITS DENGAN SEJARAH DALAM MENELUSURI NASAB

DR. Ja‘far Assegaf, MA. (selanjutnya disebut Ja‘far), membuat buku sanggahan terhadap buku penulis ―Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia‖. Buku itu diberi judul ― Konektifitas Rihal al-

Hadits dengan Sejarah dalam Menelusuri Nasab‖ (selanjutnya disebut buku Ja‘far). Titimangsa penulisan dalam buku Ja‘far itu tertulis 17 Maret 2023.

Ada beberapa hal yang ingin penulis tanggapi sebagai berikut:

Pertama, dalam pengantarnya, Ja‘far menyatakan “Tulisan menakar bernuansa memojokan semua Ba Alawi tanpa terkecuali.

Dengan cara menuduh nasab mereka” (h. 4). 

Penulis menjawab, yang penulis lakukan bukanlah memojokan, tetapi memverivikasi pengakuan sebagian Ba Alawi yang menyatakan dihadapan public bahwa ia sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw. Ternyata setelah dilakukan pengakjian sesuai tradisi ilmiyah yang penulis dapatkan baik di Pesantren maupun di kampus, ternyata ditemukan keterputusan riwayat selama 550 tahun. Nasab Ba Alawi menurut kajian penulis sangat sukar disambungkan kepada Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa nasab Ba Alawi adalah nasab munqati‘ (terpustus).

Kedua, Ja‘far mengatakan, “Pemahaman dari adanya tuduhan  )انطعه(Imad kepada nasab Ba Alawi berpotensi mengarah ke Qadzaf  )انقذف(terhadap datuk mereka Ubaidllah…” (h.10).

Penulis menjawab, kalimat ja‘far rancu. Yang penulis simpulkan dalam menakar itu Ubaidillah bukan anak Ahmad. Bagaimana bisa penulis menuduh Ubadillah berzina? Maksudnya mungkin ibunya Ubaidillah. Tapi baiklah, penulis menjawab begini:

Bab qodzaf itu adalah apabila ada seorang perempuan yang bersuami mempunyai anak, lalu ada orang yang mengatakan bahwa anak itu bukan anak suaminya, itu bab qodzaf. Kalau kasus Ubaidillah itu beda, karena ibu Ubaidillah bukan isterinya Ahmad bin Isa. Ketika disebut Ubaidillah bukan anak Ahmad ya jelas sekali, karena ibunya ubaidillah itu bukan isteri dari Ahmad. Bagaimana disebut ia menghianati ahmad, wong Ahmad bukan suaminya. Ini babnya bukan bab qodzaf, tapi bab salah alamat nama bapak.

Ketiga, untuk menjawab terputusnya nasab Ubaidillah, Ja‘far menggunakan kitab-kitab yang menyebut nama Ubaidillah, sayangnya kitab-kitab tersebut belum dapat menyambungkan nasab Ubadillah yang terputus. Seperti kitab al-dlau‘ al lami‘, ia menyebutkan bahwa ketika al-sakhawi menyebutkan nasab Ubaidillah sampai Nabi Muhammad Saw., maka ini berarti nasab ini telah sah. Menurutnya prosesnya mirip isnad hadits ketika perawi hadits menyebutkan namanama perawi diatasnya.

Ini sungguh keanehan yang luar biasa. Bagaimana bisa penyebutan seorang ulama akan sebuah syajarah nasab ke atas, bisa disamakan dengan isnad hadits. Isnad hadits bisa dianggap sahih bukan karena isnad itu sendiri, tetapi harus dikonfirmasi oleh kitab ruwat (para perawi) dan al-Jarh wa al-ta‟dil (tentang kwalitas perawi). Misalnya Imam Malik meriwayatkan dari Nafi‘ dari Ibnu Umar dari Rasulullah Saw. Ini tidak bisa begitu saja dianggap sahih, kecuali telah diteliti apakah Imam Malik hidup semasa dengan Nafi atau tidak; pernah bertemu atau tidak. Lalu Nafi‘ diteliti apakah ia hidup semasa dengan Ibnu Umar atau tidak; pernah bertemu atau tidak. Semikian pula, diteliti bagaimana kwalitas pribadi masingmasing nama perawi yang disebutkan. Baru setelah itu diukur kesahihan atau kedlaifannya. 

Begitupula ketika al-Sakhawi menyebutkan nama syajarah nasab Ubaidillah sampai kepada Rasulullah, ini dapat diteliti apakah penyebutan al-Sakhawi itu sahih atau tidak. harus diteliti apakah benar Ubaidillah ini anak daripada Ahmad dan Ahmad apakah betul anak dari Isa dan seterusnya. Jika penelitian isnad hadits dengan kitab ruwat dan jarh wa ta‘dil, maka penelitian syajarah nasab dengan kitabkitab nasab dan kitab lainnya yang sezaman dengan setiap nama yang terdapat dalam syajarah nasab itu. Dan penulis telah menelitinya, bahwa nasab Ubaidillah itu terputus, karena ia bukan anak Ahmad bin

Isa. 

Selain kitab al-Skahawi, Ja‘far menggunakan kitab Abna‟ul Imam. Penulis telah mengulasnya bahwa kitab ini palsu, telah tercampur antara kitab asli dan penambahan muhaqqiq yang tidak dibedakan antara keduanya.

Ja‘far juga menggunakan kitab al-Suluk karya al-Jundi (w.730 H. ) yang menyebut nama Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa. Penulis telah urai tentang bahwa Abdullah bukanlah Ubaidillah dalam tanggapan penulis untuk hanif Alatas. 

Ja‘far juga menyebutkan metode mengkonfirmasi Ubaidillah sebagai anak Ahmad dengan: pertama, riwayat lisan dan catatan keluarga Ba Alawi. Perlu diketahui, menurut penulis, riwayat lisan dan catatan keluarga Ba Alawi harus sesuai dengan catatan keluarga Nabi lainnya atau yang dicatat ulama nasab dalam kitab yang membahas nasab keturunan Nabi Muhammad Saw. Sudah jelas, catatan Ba Alawi yang mencatat nama leluhurnya yang bernama Ubaidillah sebagai anak Ahmad, bertentangan dengan kitab-kitab nasab sezaman atau yang paling dekat. Kitab-kitab ini berkedudukan sebgaimana perawi dalam hadits. Jika sebuah pengakuan nasab tidak dikonfirmasi kitab sezaman atau yang lebih dekat maka akan banyak sekali orang mengaku dengan mudah sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw. 

Yang kedua, Ja‘far menggunakan metode syuhrah wal istifadloh, masyhur dan menyeluruh. Sudah jelas, nasab Ba Alawi ini hanya masyhur di masa kini sampai abad Sembilan hijriah, sedangkan sebelumnya sama sekali tidak disebut di dalam kitab-kitab, baik kitab nasab atau kitab lainnya. Tentang syuhroh wal istifadloh ini, sudah penulis bahas dalam batang tubuh buku ini.

Ketiga, ja‘far menggunakan kesaksian kitab-kitab. Menurutnya kitab-kitab telah banyak menyebut nasab Ubadillah sebagai anak Ahmad. Ia menyebut semisal kitab Ba Makhramah (w. 976 H) dan alkhotib (w. 850 H). kitab tersebut menceritakan tentang hijrahnya Abdullah ke Hadramaut. Sekali lagi, Abdullah bukan Ubaidillah. Walau Abdullah sendiri adalah cangkokan, tetapi ia bukan Ubadillah. Penulis telah sampaikan hujjah bahwa Abdullah bukan Ubaidillah. Alwi anak Ubaid disisipkan sebagai anak Abdullah, dengan memahami Abdullah sebagai orang yang sama dengan Ubaid; sementara Abdullah sendiri adalah sisipan dari anak-anak Ahmad lainnya, dengan cara muncul tiba-tiba sebagai anak Ahmad.

Keempat, Ja‘far menggunakan pernikahan laki-laki Ba Alawi dengan perempuan dari al-Hasani sebagai tanda kesahihan nasab Ba Alawi. Ia mengukur al-Hasani sama seperti Ba Alawi yang tidak mengawinkan anak perempuan mereka selain dengan laki-laki Ba Alawi, padahal tradisi rasis itu, bisa saja hanya dimiliki oleh Ba Alawi, tidak menjadi tradisi lainnya dari mereka yang mengaku keturunan Nabi. Di samping, tentunya, tradisi demikian bukan ajaran al-Qur‘an dan Nabi Muhammad Saw. 

Kelima, Ja‘far menggunakan bukti arkeologi berupa makam Ahmad bin Isa di Hadramaut sebagai bukti nasab Ba alawi bersambung kepada Ahmad bin Isa. Pertanyaanya, betulkah itu makam Ahmad bin Isa. Bagaimana Ahmad bin Isa bisa dimakamkan di Hadramaut. Mana bukti kitab yang menyebutkan bahwa Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib dimakamkan di Hadramaut? Tidak ada.

Posting Komentar untuk "LANJUTAN BAB IV: MENJAWAB MUHAMMAD LUDFI ROCHMAN TENTANG TERPUTUSNYA NASAB HABIB"